3 Jenderal Sederhana Tak Silau dengan Gemerlap Harta

JAKARTA – Dunia militer identik dengan masyarakat yang tangguh, berani, dan disiplin. Dari ketiga tokoh militer tersebut, ada tiga jenderal yang dikenal hidup sederhana meski menduduki jabatan tinggi.

Berikut tiga jenderal yang dikenal hidup sederhana: 

1. Jenderal TNI (Purn) Andi Muhammad Yusuf Amir 

Andi Muhammad Yusuf Amir, lahir di Bonn, 23 Juni 1928, merupakan mantan Panglima TNI yang sangat dekat dengan prajuritnya. Beliau adalah Panglima TNI dari tahun 1978 hingga 1983, dan menjabat sebagai Menteri Perindustrian Primer, Menteri Perdagangan, dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia. Yusuf memiliki pengalaman medan perang yang luas, termasuk Operasi Permesta, penumpasan Gerakan 30 September/PKI, dan operasi di Timor Timur.

Yusuf dikenal dengan kesederhanaannya, tinggal di rumah sederhana yang kosong dan menggunakan furnitur lama. Beliau meninggal pada tanggal 8 September 2004 di Jakarta.

2. Jenderal TNI (purn) Pramona Eddy Vibova

Lahir di Magelang pada 5 Mei 1955, Pramona Eddy Wibowa merupakan adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudayon. Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada tahun 2011 hingga 2013, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, dan Panglima Kapasus. Promono dikenal karena kesederhanaannya, sifatnya yang tidak menuntut dan ramah.

Dia adalah putra Letnan. gen. (Purn.) Sarvo Edi Vibowa, tokoh militer yang berperan penting dalam menumpas PKI pada tahun 1965. Pramona meninggal dunia pada 13 Juni 2020 di Chanjur.

3. Kapolri (Purn) Högeng Imam Santosa

Hugeng Imam Santosa, lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921, adalah Kapolri periode 1968 hingga 1971. Ia dikenal karena kejujuran dan kesederhanaannya. Högeng lebih suka dipanggil dengan nama pendeknya karena menurutnya nama lengkapnya terlalu sulit.

Meski menduduki jabatan tinggi Sekretaris Kabinet dan Direktur Jenderal Imigrasi, ia tetap menjalani kehidupan sederhana. Högeng menolak menemaninya, tidak mengambil bagian berasnya, dan tidak mengizinkan istrinya menjadi pemimpin Bhayangkara.

Dalam laporan Jurnal Pendidikan dan Sejarah (2021) bertajuk “Jenderal Högeng Imam Santos: Kapolri yang Jujur, Disiplin, dan Sederhana Sebagai Teladan Generasi Muda”, Högeng enggan menyebutkan nama lengkap dan lebih suka dipanggil Högeng padanya. Sebab ia merasa namanya panjang dan berat karena idealismenya.

Dikenal sebagai polisi yang jujur ​​dan anti suap. Bahkan, putra Högeng, Didit, mengatakan keluarganya tinggal di rumah yang disewa bulanan.

Hugeng meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2004 di Jakarta dan menjadi contoh masyarakat Indonesia.

(Data dikumpulkan oleh Penelitian dan Pengembangan MPI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *