JAKARTA – Biarkan Ajar Subrata menjadi murid pendeta besar bernama Maulana Ali Shyamsu Zain yang juga guru Prabu Jayabaya. Selain itu ia juga seorang guru spiritual.
Diketahui, Maulana Ali Shyamsu Zain dalam perjalanan pulang dari Kediri singgah di Gunung Padang, Sianjur, Jawa Barat. Ia memutuskan untuk menulis buku Musrar Te Ki Ajar Subrata. Oleh karena itu hanya Raja Jayabaya yang tidak mengetahui ramalan-ramalan dalam kitab tersebut.
Pada Zaman Kalasura, masa musibah berakhir dan masa keemasan nusantara pun dimulai. Sesuai ramalan Jayabaya, sebulan setelah Maulana Ali Shyamsu Zain menulis kitab Musarar Te Ki Ajar, Prabu Jayabaya mengajak putranya yang diangkat menjadi Wakil Raja ke Gunung Padang.
Gunung Padang konon merupakan tempat suci, dengan banyak situs kuno di puncaknya. Selain itu, dalam Serat Senthini, putri Raja Airlanga, Ratu Kilisuchi, juga diceritakan bertapa di sini.
Bentuk Gunung Padang yang menyerupai piramida diyakini merupakan piramida tertua di Mesir.
Prabu Jayabaya pun menemui Ki Ajar Subrata di puncak Gunung Padang. Ki Ajar yang merupakan seorang guru kerohanian mempunyai murid yang banyak dan tinggal bersama muridnya di Gunung Padang yang juga terdapat endang (siswa perempuan).
Oleh karena itu, Ki Ajar dengan penuh semangat menerima kehadiran Prabu Jayabaya dan putranya. Tiba-tiba Ki Azar memanggil Endang dan menyuruhnya menyiapkan pesta.
Ada 7 jenis masakan termasuk endang yang dihidangkan kepada Raja Jayabaya. Berikut delapan perawatannya.
1. Kunir Sarimpang (Tandan Kunyit).
2. Juadah Satkir (Jada Asam).
3. Bunga Melati Sakonthong (Bunga melati disimpan dalam kontong, yaitu kotak yang terbuat dari daun lebar yang dilipat berbentuk kerucut).
4. Pohon Sauveet (pohon).
5. Satal Chilak (Bawang putih dalam kantong kain).
6. Rakta Sapitrah (secangkir darah, zakatnya diukur dalam gelas mengacu pada Fitrah).
7. Seorang endang (siswa perempuan).
8. Bunga krisan sakonthong (contoh bunga krisan).
Menyadari maksud perlakuan tersebut, Prabu Jayabaya mendadak murka.
Apa yang membuat ayahnya bertanya-tanya kepada anaknya, dia bertanya-tanya, mengapa dia membunuh guru yang menerimanya? Dan mengapa kehancuran mematikan ketika tidak ada yang diketahui?
Namun ia tidak berusaha menanyakan pertanyaan tersebut karena melihat Prabu Jayabaya masih marah. Sesampainya di rumah, dia merasa ayahnya sudah tidak marah lagi, sehingga dia bertanya mengapa ayahnya melakukan hal tersebut.
Prabu Jayabaya menjelaskan Azhar mengkhianati gurunya, Maulana Ali Shyamsu Zain. Namun belum jelas alasan Ajar mengkhianati Prabu Jayabaya.
Prabu Jayabaya pun berpesan kepada putranya, “Apan wus den wangseni mrig pandhita ingguni tan kena gingsir ing besuk (Menurut titah pendeta, hal ini merupakan suatu kepastian yang tidak dapat diubah).”