Alumni Taiwan di RI Bahas Dampak Hubungan Lintas Selat

JAKARTA – Di Indonesia, lulusan Taiwan berdiskusi tentang ASEAN dan hubungan bilateral dengan Indonesia. Diskusi ini diselenggarakan oleh Taiwan Alumni Network di Indonesia dan Taipei Trade and Economic Office (TETO) Center for Business and Diplomatic Studies (CBDS) – Universitas Bina Nusantara (Binus) di Jakarta.

Tema diskusinya adalah Flashpoint Formosa: Managing the Ripple Effects of Cross-Strait Tensions on Security, Technology and Agriculture in Southeast Asia. Pertemuan tersebut dihadiri oleh lulusan Taiwan di Indonesia dan tamu undangan dari Habibi Center dan Binus. Beliau membuka diskusi dan memberikan sambutan. Steve Chen sebagai Wakil Direktur Perdagangan dan Ekonomi, Taipei, Indonesia.

Kali ini, Pak. Steve Chen menjelaskan, sudah banyak kerja sama antara Indonesia dan Taiwan, khususnya di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian, dan teknologi. Tuan yang berspesialisasi dalam teknologi. Steve Chen mengatakan Taiwan merupakan salah satu negara yang patut mendapat pengakuan di dunia atas keberhasilannya mempertahankan status sebagai produsen chip terbesar di dunia. Dunia membutuhkan Taiwan karena 90% chip dunia dibuat di Taiwan.

Jika Tiongkok menginvasi Taiwan, total dampaknya di seluruh dunia diperkirakan mencapai $10 triliun, atau sekitar 10 persen dari produk domestik bruto dunia. Hal ini tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Selanjutnya, Direktur TETO Bpk. William WL Hsu menambahkan, 28 kerja sama multilateral antara Indonesia dan Taiwan menjalin Memorandum of Understanding (MoU) pada tingkat g-to-g (goverment-to-goverment). Nota kesepahaman ini diharapkan dapat mempererat kerja sama antara Indonesia dan Taiwan.

Dalam diskusi ini, DR. Teuku Rezasyah, dosen Universitas Padjajaran Bandung; Dr. Erri Dwee Kurniawan, Peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) lulusan Taiwan, Efendi Andoko selaku Sekjen HKTI (Himpunan Kerukunan Petani Indonesia) lulusan Taiwan. Dr. Teuku Rezasyah membuka diskusi dengan menjelaskan implikasi hubungan bicoastal bagi ASEAN, khususnya Indonesia.

Hal penting yang ditekankan oleh Dr. Teuku Rezasya bahwa Taiwan merupakan negara yang banyak dihuni oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya 300.000 warga Indonesia tinggal di Taiwan sebagai pelajar atau pekerja migran. Jika terjadi gangguan pada hubungan kedua pantai tersebut, tentu kehadirannya akan membawa dampak tersendiri bagi negara Indonesia.

Oleh karena itu, DR. Teuku Rezasyah menekankan pentingnya menyelesaikan persoalan hubungan pesisir Tiongkok-Taiwan melalui diskusi damai. Selain itu, menurut DR Teuku Rezasya, negara-negara ASEAN yang merupakan sumber pekerja migran terbesar seperti Indonesia, Vietnam, dan Thailand perlu membuat nota bersama dengan Taiwan untuk menetapkan standar dan norma bagi pekerja. Hal ini penting karena ketergantungan tenaga kerja antara Taiwan dan ASEAN terus meningkat setiap tahunnya.

Dr. Erri Dwee Kurniawan dari BRIN melihat konektivitas bicoastal dari perspektif teknologi. Dalam perang teknologi yang sedang berlangsung antara Tiongkok dan Amerika Serikat, Taiwan dipastikan akan menempati posisi sentral dan strategis. Sebagai produsen chip terbesar di dunia, kehadiran Taiwan dalam rantai nilai semikonduktor global sangatlah penting.

Indonesia sendiri saat ini sedang mengembangkan industri semikonduktornya dan membutuhkan dukungan dari banyak pihak, termasuk Taiwan. Indonesia merupakan kontributor utama pengembangan sumber daya manusia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Di Indonesia, jumlah insinyur diperkirakan 5.300 orang per 1 juta orang, di Vietnam 9.000 orang per 1 juta orang, dan di Malaysia 12.000 orang.

Kerjasama Indonesia dan Taiwan di bidang pertanian telah berlangsung selama 46 tahun. Hal itu disampaikan Sekjen HKTI Effendi Andoko. Dari pengalamannya selama belajar dan mengajar di Taiwan, banyak kemajuan teknologi pertanian yang bisa dimanfaatkan di Indonesia. Salah satunya adalah pesawat tak berawak (drone) yang mampu mendeteksi pohon sawit berpenyakit di jutaan hektar lahan sawit. Teknologi yang belum tersedia di Indonesia ternyata bisa sangat membantu para petani kelapa sawit. Selain itu, potensi kerja sama Indonesia dan Taiwan tidak hanya transfer teknologi saja, namun juga kerja sama ekspor-impor yang pada akhirnya bermanfaat bagi kedua belah pihak. Tuan William W.L. Hsu menambahkan, kerja sama tersebut tidak terbatas pada teknologi, tenaga kerja, dan pertanian. Selain mempererat hubungan Indonesia dan Taiwan, terdapat potensi kerja sama yang besar, serta penciptaan ribuan bahkan jutaan lapangan kerja di Indonesia.

Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab dan ucapan terima kasih kepada para peserta yang telah menyelenggarakan pertemuan tersebut. Diharapkan kedepannya akan lebih banyak lagi dialog seperti ini yang akan membuka lebih banyak peluang kerja sama antara Indonesia dan Taiwan, dan pada gilirannya akan meningkatkan potensi lulusan Taiwan yang sudah kembali ke tanah air. Bahkan, tidak hanya bertujuan untuk berdiskusi dan mengembangkan jaringan alumni di Taiwan, namun juga berharap dapat memperkuat 28 MoU yang telah disepakati melalui langkah konkrit ke depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *