Debat Publik, Ini Komitmen 3 Calon Rektor UI

Jakarta – Majelis Wali Amanat (MWA) hari ini membuka diskusi publik mengenai calon Rektor Universitas Indonesia (UI) periode 2024-2029. Ketiga kandidat juga menyampaikan visi untuk memastikan UI masa depan menjadi kampus yang merangkul keberagaman budaya, agama, dan ekonomi.

Kepala Sekolah UI Ari Fahrial Syam menekankan pentingnya memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh mahasiswa.

“Maksud saya, semua orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi apa pun saat Anda masih mahasiswa. Kita juga harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang,” ujarnya, Senin (23/9/2024).

Ia juga menyinggung kerja sama UI dengan Pemda Papua pada tahun 2020, dimana pada tahun 2020 sebanyak 28 orang dokter asal Papua diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi spesialis di Fakultas Kedokteran UI.

“Alhamdulillah saya berhasil melewati dua semester terakhir,” kata Ari.

Dia berjanji akan terus memperjuangkan inisiatif tersebut jika terpilih menjadi presiden.

Sementara itu, calon presiden UI lainnya, Heri Hermansyah, mengatakan antarmuka pengguna harus mencerminkan slogan Bhinneka Tunggal Ika.

“NS bisa dihadirkan sebagai miniatur Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika. Itu harus menjadi semangat dari antarmuka penggunanya, bagaimana ia bergerak, bagaimana ia memperlakukan warganya,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya perekrutan berdasarkan kebajikan dan integritas, serta memastikan bahwa semua mahasiswa, termasuk penyandang disabilitas, memiliki akses yang sama terhadap layanan universitas.

“Perpaduan ini menjadi warna utama universitas Indonesia bernama Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya.

Di sisi lain, calon presiden Teguh Dartanto berbicara tentang bagaimana keberagaman harus dijadikan kekuatan antarmuka pengguna.

“User interface-nya harus berskala Indonesia,” tegas Teguh.

Ia juga mengusulkan Program Beasiswa Kepemimpinan Masa Depan Indonesia Dua Ribu Empat Puluh Lima untuk memperluas kesempatan bagi mahasiswa asal Indonesia Timur.

Teguh juga ingin mengubah kurikulum UI, khususnya mata kuliah universitas seperti MBKM, untuk mendorong interaksi antar perguruan tinggi.

“Mata kuliah MBKM minimal harus ada 5 perguruan tinggi di kelasnya, sehingga berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda dari latar belakang yang berbeda-beda,” ujarnya.

Ketiga kandidat ini menunjukkan komitmen mereka untuk menciptakan antarmuka pengguna yang benar-benar terintegrasi di mana semua siswa dari latar belakang berbeda memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *