Ada Sanksi bagi Pekerja, Iuran Tapera Dinilai Tumpang Tindih

JAKARTA – Kontroversi pembiayaan perumahan rakyat (Tapera) menjadi perbincangan di kalangan pekerja dan dunia usaha. Selain itu, terdapat risiko sanksi bagi pekerja dan pemberi kerja yang tidak dibayar.

Pasal 55 Undang-Undang Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 menyebutkan bahwa operator atau pekerja informal yang menjadi peserta Tapera namun tidak membayar pajak akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis bahkan denda.

Sementara itu, pemberi kerja akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda administratif, pengumuman ketidakpatuhan oleh pemberi kerja, pembatasan izin usaha, dan/atau pembatalan izin usaha sesuai UU Pemerintah Pasal 56 Tahun 2020. Tidak 25.

Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Seluruh Pekerja Indonesia, mengatakan Tapera tidak akan efektif karena sanksinya sulit diterapkan dan programnya sendiri sejalan dengan program tunjangan perumahan Layanan Tambahan Layanan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan.

Ia menilai, sanksi yang diberikan Tapera terhadap pencabutan izin usaha terhadap perusahaan yang tidak memberikan hasil bertentangan dengan semangat pembangunan berkelanjutan, yaitu semangat penciptaan lapangan kerja di masyarakat.

“Karena pemerintah pusat dan daerah masih sangat senang menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat kita. Artinya pengusaha yang menciptakan lapangan kerja akan ditolak izinnya sehingga timbul pengangguran. Ini adalah isu yang kontroversial dan penuh gairah. itu tidak untuk kepentingan rakyat,” kata Thimboel, Kamis (6/6/2024).

Selain itu, Timboel menyarankan Tapera tidak wajib, hanya opsional. Pasalnya, program ini tumpang tindih dengan program Perumahan MLT yang dapat diakses oleh karyawan secara mandiri sesuai kebutuhannya.

“Pasal 7 rekaman itu harus ditinjau ulang, tidak perlu, tapi sukarela, karena pekerja swasta sudah memiliki saluran Perumahan MLT yang pada akhir tahun 2023 sudah ada 44.313 pekerja. Perumahan senilai Rp 1,19 triliun didapat dari perumahan MLT yang rata-rata bisa dikatakan sekitar Rp 200 juta, jika diterapkan tidak ada manfaatnya dan tidak jelas hasilnya yang berarti dirugikan oleh para pekerja dan pengusaha. rugi,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *