Jalan Terjal Gerakan Petisi 50 Menentang Rezim Soeharto

JAKARTA – Pada tahun 1980, pernyataan Presiden Soeharto yang mendesak ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum dan menyerukan persatuan ABRI dan Golkar untuk mencapai Pancasila memecah kekuatan internal.

Meskipun banyak yang setuju dengan dua rencana ABRI Soeharto, beberapa kelompok senior menentangnya. Seperti yang dikatakan Sujarto dengan tegas pada 16 April 1980, “Mengkritik saya sama saja dengan mengkritik Pancasila.”

Ancaman Soeharto untuk menculik anggota MPR yang mengusulkan perubahan UUD 1945 menimbulkan kekhawatiran di kalangan petinggi.

Menanggapi kekhawatiran tersebut, pada tanggal 5 Mei 1980, 50 orang nasionalis berkumpul dan menandatangani surat protes, yang kemudian dibacakan di depan anggota DRP-RI. Dikenal dengan nama PETC 50, surat itu mengkritik Soeharto karena menyalahgunakan Pancasila.

Hogeng Imam Santoso merupakan salah satu peserta kelompok Petisi 50, namun keikutsertaannya dalam kelompok tersebut dipengaruhi oleh hubungan pribadinya dengan Dharmo, Kepala Kementerian Koordinator Politik dan Perdamaian. Meskipun demikian, Dharto menghormati pilihan politik Högeng.

Dibahas dalam buku Hogeung: Polisi dan Menteri Ideal karya Soeharto

Selain Hogeng, banyak juga warga seperti Mohammed Natsir, Kosman Singodimedjo, S.K. Trimulti, M. Jasin, A. Nasusan, Sayfruddin Praveengara, Ali Sadikin dan masih banyak selebriti lainnya.

Pada tanggal 5 Juli 1980, kelompok PTI 50 mengeluarkan pernyataan yang menyoroti masalah politik, ekonomi, dan keamanan di bawah Soeharto.

Tindakan tersebut menyebabkan kegemparan dalam politik Indonesia, dengan 19 anggota DRP menggunakan hak mereka untuk memakzulkan Soeharto untuk pertama kalinya pada tanggal 14 Juli 1980.

Pertanyaan pertama adalah, ‘Apakah Presiden menyadari adanya masalah serius dalam menyampaikan keprihatinannya?’, dan yang kedua adalah, ‘Apakah masyarakat Indonesia berhak mendapatkan penjelasan yang utuh dan lengkap atas permasalahan yang diangkat?’

Pada 1 Agustus 1980, Soeharto memberikan jawabannya melalui Ketua DPR Dariatmo. Ia menulis, ia yakin anggota DRP sudah berpengalaman dan paham maksud pidatonya. Namun, jika masih belum puas, Soeharto menyarankan agar para anggota DRP mengajukan pertanyaan kepada anggota komisi DRP terkait.

Respons pemerintah terhadap petisi ke-50 ini tidak sesuai harapan. Suharto menolak ide-ide kelompok tersebut dan mengkritik metode-metodenya serta menganggap menyebut dirinya seorang patriot adalah tindakan yang salah.

Akibatnya, pemerintah memboikot tokoh-tokoh yang terlibat dalam 50 petisi tersebut, melarang mereka berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, bahkan melarang mereka bepergian ke luar negeri. Pada akhirnya amandemen ke-50 tidak mencapai tujuannya dan Pancasila diterima sebagai satu-satunya kebijakan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *