Jokowi Paksa Buka Keran Ekspor Pasir Laut, Wujud Teori Groupthink?

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah “tertahan” selama 20 tahun. Hal ini ditandai dengan ditandatanganinya Keputusan (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimen Laut pada Mei 2023 oleh Presiden.

Akibat PP tersebut, Menteri Perdagangan Zulkifli Hassan pun mengeluarkan Peraturan Menteri (Permendag) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan implementasi konkrit pembukaan katup ekspor pasir laut setelah ditutup oleh Presiden Megawati. Sukarnaputri 20 tahun yang lalu.

Pada tahun 2002, Presiden Megawati memutuskan untuk mematikan keran ekspor pasir laut setelah isu tersebut menjadi perdebatan hangat pada masa pemerintahannya. Menurut laporan inews.id (2024), ekspor pasir laut dihentikan karena berdampak terhadap lingkungan dan mempertimbangkan kelangsungan hidup penduduk di sekitar pulau tersebut, yaitu untuk mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil khususnya di wilayah terluar pulau. pulau perbatasan, misalnya di kepulauan Riau.

Kebijakan mengenai penghentian sementara ekspor pasir laut tertuang dalam Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MMP/Kep/2/2003). Namun, setelah lebih dari 20 tahun berlalu, Presiden Jokowi efektif membuka kembali keran ekspor pasir laut di akhir masa jabatannya yang berakhir pada Oktober 2024.

Keputusan Presiden Jokawa menimbulkan protes di masyarakat. Reaksi keras datang dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat terdampak, aktivis lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup seperti Forum Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Greenpeace, hingga tokoh seperti mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiastuti.

Dalam unggahannya di platform tersebut, Rabu (18/9/2024), Jokowi menegaskan, pasir laut dan hasil sedimentasi laut bukanlah hal yang sama, meski memiliki wujud yang sama, yakni pasir.

Susi Pudiastuti pun membalasnya dengan senyuman tangis. Meski tak ada kata-kata, namun jawaban Susi Pudiyastuti penuh makna, dimana emoji ini biasa digunakan sebagai bentuk ungkapan kesedihan yang mendalam.

Tak berhenti sampai di situ, pendiri Susi Air kembali memberikan jawaban, namun kali ini tak sekadar smiley. Susi mengomentari pernyataan Ketua Komisi IV DPR RI Faisol Riza yang mengatakan hal pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji kebijakan ekspor pasir laut.

“Pasir, apapun sebutannya, sangat penting bagi keberadaan kita. Kalau mau ambil pasir/sedimen kita manfaatkan untuk meninggikan daerah pantura jawa dll yang banyak terkena erosi dan ada yang tenggelam. . Kembalikan lahan tersebut ke sawah warga kami di Panturi. Saya mohon dan berharap Yang Mulia mewakili rakyat Indonesia memahaminya, tulis Susi Pudiastuti.

Penolakan lainnya datang dari organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia, Walhi. Melalui platform resminya X, ia keberatan dengan keputusan Jokowi yang membuka kembali keran ekspor pasir laut. Menurutnya, hal tersebut bukan untuk kepentingan rakyat, namun justru menimbulkan permasalahan yang lebih besar.

“Kenapa kita semua harus menangis saat katup pasir laut dibuka? Pertama, banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang kini terancam banjir akibat krisis iklim, yang juga diperparah dengan penambangan pasir laut. Beberapa pulau kecil bahkan sudah hilang. tulis Walhi menanggapi cuitan Susi Pudiyastuti

Selain itu, menurut Valkha, pembukaan keran ekspor pasir laut menjadi beban tambahan dalam memerangi dampak perubahan iklim. Dan mereka juga merampas mata pencaharian warga sekitar yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini mengakibatkan masyarakat pesisir mengalami kesulitan ekonomi, seperti warga Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan, akibat penambangan pasir.

Walhi juga menilai keputusan ekspor pasir laut adalah “untung kecil, rugi besar”. Dimana kerugian yang akan timbul dalam restorasi akibat kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap perekonomian warga pesisir justru lebih besar dibandingkan keuntungan yang bisa diperoleh.

Protes lain dilontarkan oleh organisasi lingkungan Greenpeace. Dalam situs resminya, Greenpeace menyatakan penolakan keras terhadap keputusan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut.

Seperti halnya Walhi, Greenpeace berpendapat bahwa ekspor pasir laut akan menimbulkan kerusakan besar terhadap lingkungan dan masyarakat, yakni merusak ekosistem dan membahayakan kelangsungan hidup masyarakat pesisir.

Pasir laut, menurut Greenpeace, merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dengan cepat. Padahal manfaatnya dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir sangatlah penting. Pasir laut juga menopang pantai dan melindunginya dari erosi yang menyebabkan pulau-pulau di sekitar pantai tenggelam.

Oleh karena itu, dibukanya keran ekspor pasir laut, menurut Greenpeace, hanya akan membawa keuntungan jangka pendek bagi sebagian pihak. Namun hal ini pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan jangka panjang dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat pesisir.

Keputusan Jokowi membuka kembali keran ekspor pasir laut dinilai merupakan wujud teori groupthink dalam perspektif ilmu komunikasi.

Teori ini dikembangkan oleh Irving Janis, seorang psikolog sosial di Universitas Yale.

Groupthink menurut Irving Janis diartikan sebagai cara bernegosiasi antar anggota kelompok yang mana keinginan untuk mencapai kebulatan suara atau kesepakatan lebih penting dan cenderung mengabaikan semua pilihan yang ada.

Groupthink mengacu pada keinginan untuk mencapai tujuan yang lebih penting daripada merumuskan solusi yang masuk akal terhadap suatu masalah (West & Turner, 2010).

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Penerapan, West & Tunner mengungkap 3 faktor yang mendorong groupthink menurut Irving Janis.

Yang pertama adalah kohesi kelompok yang tinggi dalam pengambilan keputusan. Anggota kelompok lebih mengutamakan keharmonisan dalam kelompok dan berusaha menghindari konflik, misalnya perbedaan pendapat. Oleh karena itu, para peserta memilih diam yang artinya setuju.

Kedua, karakteristik tertentu dari lingkungan di mana kelompok tersebut beroperasi. Menurut Janis, ciri-ciri tersebut mencakup beberapa hal, antara lain akses terhadap kelompok (apakah kelompok cenderung terisolasi atau terbuka), sifat pemimpin (apakah pemimpin yang mengambil semua keputusan atau sebaliknya), prosedur pengambilan keputusan yang tidak jelas. , dan sebagai hasilnya, homogenitas kelompok anggota kelompok.

Ketiga, yaitu adanya karakteristik situasional internal atau eksternal dalam kelompok. Misalnya, tekanan terjadi ketika anggota kelompok terpengaruh oleh permasalahan baik di dalam maupun di luar kelompok, sehingga keputusan cenderung diambil untuk mencapai tujuan tersebut dan mengesampingkan perbedaan pendapat pihak lain.

Dalam hal ini, untuk menghindari groupthink, Presiden Joko Widodo hendaknya mempertimbangkan seluruh kontribusi berbagai pihak, termasuk masyarakat terdampak, aktivis, dan lembaga lingkungan hidup, untuk mempertimbangkan kembali keputusannya membuka keran ekspor pasir laut, dengan mempertimbangkan berbagai akibat yang mungkin terjadi, dan dengan mempertimbangkan dampak kerusakan yang akan lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh, atau jika manfaat tersebut juga dirasakan oleh masyarakat pesisir yang tinggal di wilayah pertambangan, atau sebaliknya.

Pengarang:

Vika Vidyastuti

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *