Kisah Penyandang Disabilitas Pengepul Rongsokan di Pondok Kopi

JAKARTA – Saat matahari masih terbenam di timur DKI Jakarta, Jaelani, 38 tahun, terlihat sibuk memilah-milah tong sampah – botol bekas, sandal bekas, barang elektronik rusak, pipa uap, bahkan peralatan makan kaca.

Selama puluhan tahun, penyandang disabilitas ini bekerja keras untuk bertahan hidup meski kemampuan fisiknya terbatas. Dia tidak pernah takut untuk bertarung bahkan dalam kondisi ibu kota yang keras sekalipun. Pria berkumis dan berjanggut tebal ini tak memiliki kata menyerah dalam kosa kata hidupnya.

Pria kurus ini sehari-hari memilah barang bekas di dekat TPU Malaka, Pondok Kopi, Duren Savit, Jakarta Timur. MNC Portal Indonesia mengunjungi pusat perbelanjaan Jaelani. Toko kerusakan tersebut tidak terlihat besar dan terhubung langsung dengan kamar kecil Yalani.

Sementara perabot di kamarnya tampak polos, televisi kecil berbentuk tabung masih berada di tempatnya. Di kamar berukuran sekitar 2×2 meter persegi itu, Jaelani dan istrinya juga memanfaatkannya sebagai tempat tidur.

Jaerani adalah seorang penyandang disabilitas yang lengan dan kakinya berbeda dengan orang normal.

Saat diwawancarai jurnalis MPI Muhammad Farhan, Jaelani tampak mahir memilah botol plastik bekas. Dia terlihat memisahkan botol dengan tangan kirinya dan menggantungkannya pada pegangan tipis dengan tangan kanannya.

Kaki kanan Yalani berbeda dengan kaki orang normal, jadi sepertinya berjalan itu sulit. Namun keterbatasan tersebut tidak menghalangi Jaela dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari.

“Sebenarnya saya dari kecil ke Jakarta bersama ibu saya untuk memilah pedagang, tapi agak dari tahun 2014 sampai sekarang,” kata Jaelani mengawali ceritanya, Minggu (28/4). 2024).

Jaelani datang ke Jakarta dari desa Blora-Kepu di Jawa Tengah saat usianya masih muda. Ia mengaku mengalami disabilitas sejak kecil.

“Awalnya saya sortir sandalnya, lalu saya tutupi sendiri, dan lama kelamaan saya mulai bawa barang sama bos saya,” kata Jaelani.

Jarani juga gagap dan kesehatannya buruk akibat gejala stroke yang dideritanya tiga tahun lalu.

“Sejujurnya, saya pincang sejak kecil. Tapi saya juga punya gejala stroke. Gejala ini tidak muncul baru-baru ini, saya mulai pincang hanya tiga tahun yang lalu. Tapi saya mulai pincang ketika saya di rumah sakit. Mereka bilang ke ibuku, itu rahimnya”.

Jaelani mengatakan, sebelum gejala stroke muncul, ia menyadari bahwa lengan kanannya lemas dan ia mampu berlari dan berfungsi seperti orang normal.

“Jadi, setelah stroke, kondisiku memang lebih buruk, tapi modalku hanya satu, passion. Yang penting bekerja. Tidak ada yang lain. Malah semakin banyak bekerja, semakin segar badanmu.” menjelaskan.

Jaelani bercerita, sejak kecil ia takut tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Menurutnya, jika tidak bergerak sama sekali maka tubuhnya akan lemas.

“Sebenarnya kalau saya tidak bekerja, badan saya lemas sekali. Sejujurnya saya tidak tahu apa-apa tentang gejala stroke ini, tidak ada gejala, tidak ada yang lain. “Saya tiba-tiba merasa pusing dan mual.” “Sampai saat ini dia masih lemah,” katanya.

Jaelani, di sisi lain, sangat bersyukur saat dia berbicara tentang kehidupannya yang sederhana, menikmati semua yang harus dia lakukan untuk menafkahi keluarganya.

Kadang-kadang saya dibantu istri, tapi sekarang saya pulang ke rumah dan sendirian,” jelas Jaelani yang masih memilah sampah plastik.

Jaelani mengatakan, total laba per saham bisa berbeda-beda. Jaelani mengatakan, jika sibuk memilah, bisa mengantongi sekitar Rp 400.000 hingga Rp 500.000. Sedangkan untuk yang silent hanya mengenakan tarif Rp 200.000 hingga Rp 300.000.

“Tentu kalau bayar tunai mungkin harus menunggu dulu, kalau punya tenaga kadang capek, jadi istirahat dulu,” kata Jarani.

Jaelani juga berpesan kepada para penyandang disabilitas untuk bekerja dan bekerja dengan penuh semangat. Di matanya, setiap manusia yang diciptakan Tuhan harus mempunyai tempat dan kemaslahatan bagi orang lain.

Yang penting kita bekerja keras dan sungguh-sungguh sesuai kehendak Tuhan agar masa depan bisa terwujud. Tuhan Maha Tahu, terutama tentang kehidupan dan keluarga, jelas Jaelani.

Jaelani menegaskan untuk tidak putus asa dalam keadaan apapun. Dia mengakui bahwa Tuhan telah berbaik hati kepadanya ketika dia melanjutkan usahanya dan menyelesaikan pekerjaannya.

“Yang penting jangan menyerah, kalau kita mau bertindak pasti membantu,” tegas Jaelani.

Jaelani yang tersipu menceritakan keinginannya untuk mempertahankan kekayaannya. Diakuinya, setelah berpuluh-puluh tahun bekerja, tak satu pun mimpinya terwujud, namun ia tetap berharap bisa punya rumah sendiri di negeri asing.

“Saya yakin yang terpenting saat ini adalah terus bergerak, selalu bekerja dan sekaligus mencari uang perlahan-lahan, Insya Allah semuanya bisa saya lakukan demi masa depan bersama istri saya di Jakarta.” dia berkata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *