Mengenal Ratu Shima, Ratu Cantik Penguasa Kerajaan Kalingga yang Potong Kaki Anaknya

JAKARTA – Menurut catatan sejarah, Ratu Shima merupakan ratu pertama di Pulau Jawa. Dia adalah pemimpin Kerajaan Kalinga. Padahal dia bukan lahir atau berasal dari Jawa.

Para sejarawan sepakat bahwa Ratu Shima, juga dikenal sebagai Sihma atau Sima, adalah putri seorang pendeta dari kerajaan Melayu Sribuja. Buku Wanita Galak Penguasa Tanah Jawa karya Krishna Bayu Aji dan Sri Vintala Ahmad menyebutkan Ratu Shima lahir pada tahun 611 di sekitar Sungai Musi di Banyuasin.

Ratu Shima bukan berasal dari keluarga kerajaan atau darah bangsawan, melainkan putri seorang pendeta brahmana yang kini tinggal di daerah yang kita kenal dengan nama Palembang.

Namun ada beberapa pendapat lain mengenai asal usul Ratu Shima. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah putri dari Hyang Sailendra atau cucu dari Santana Sriwijaya, ada pula pendapat yang lain mengatakan bahwa ia adalah putri dari Depunta Hyang Sri Yayanag, Raja Sriwijaya dan Sempula. Dari berbagai pendapat tersebut belum ada kepastian mengenai asal usul Ratu Shima yang sebenarnya.

Berdasarkan fakta bahwa ia dilahirkan di sekitar Sungai Musi, diyakini bahwa Ratu Shima adalah putri seorang pendeta yang tinggal di wilayah Sribuja (Palembang), Malaysia. Pada usianya yang ke-16 tahun, yakni pada tahun 628, Kartikeyasinha putra Raja Jawa yang pusat pemerintahannya berada di daerah Ada Hyang atau Dieng, melamar Ratu Shima. Karthikeyasinha adalah sepupu raja Malaya Sribuja (Palembang).

Setelah menikah dengan Kartikeyasingha, Ratu Shima berpindah ke Adi Hyang. Di sini ia menjadi pengikut setia agama Hindu Siwa. Pernikahannya menghasilkan seorang putri Parvati dan seorang putra Narayana atau Ishwara.

Parvati kemudian menikah dengan Jalantar atau Rahriyang Mandiminyak, putra mahkota kerajaan kuno Galukh. Dalam pernikahan ini lahirlah Sannaha, ibu Sanjay. Sedangkan Isvara melahirkan Devasinga, ayah dari Sudivara. Sanjaya dan Sujivara kemudian menikah dan melahirkan Rakaya Panangkaran, raja Mataram kuno, yang mempertemukan kembali garis keturunan Ratu Shima dan Kartikeyasingha.

Ratu Shima naik takhta setelah suaminya Kartikeyasinga meninggal pada tahun 674. Karena anak-anaknya, Parvati dan Narayana, masih terlalu muda untuk memerintah, Ratu Shima naik takhta pada usia 63 tahun. Sebagai seorang janda, Ratu Shima menerima lamaran dari Sri Jayana, Raja Sriwijaya yang mempunyai tujuan politik.

Namun usulan ini ditolak oleh Ratu Shima, yang membuat Sri Jayanasa kecewa, yang berencana menyerang Kalinga pada tahun 686.

Rencana penyerangan tersebut dibatalkan setelah Raja Tarusbava dari Zonda mengirimkan surat kepada Sri Jayanasa yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana tersebut. Tarusbava berpendapat tindakan Sri Jayanasa akan menimbulkan kesan bahwa penolakan Ratu Shima terhadap tawaran tersebut adalah dalih untuk melakukan invasi ke Kalinga.

Surat dari Tarusbava berhasil membujuk Sri Jayanasa untuk membatalkan rencananya dan kapal Kalinga yang ditahan Sriwijaya akhirnya dibebaskan setelah harta bendanya disita.

Potong kaki anakmu

Ratu Jay Shima dikenal sebagai sosok yang adil dan jujur. Bahkan, dia tak segan-segan menindak tegas putranya sendiri karena pelanggaran ringan.

Dalam buku Wanita Ganas Yang Memerintah Tanah Jawa karya Krishna Bayu Aji dan Sri Wintala Ahmad, kabar kejujuran dan ketegasan Ratu Jay Shima diceritakan sampai ke telinga Raja Tache dari Tiongkok.

Raja Ta-che mengirim utusan ke Kalinga dalam misi rahasia. Mereka diam-diam menempatkan pot-pot emas di tempat ramai dekat pasar.

Bertahun-tahun kemudian, pot emas itu tetap tidak tersentuh, dan tidak ada yang berani mengambilnya, membukanya, atau memindahkannya.

Suatu hari, putra sulung Ratu Jay Shima memasuki pasar dan secara tidak sengaja menjatuhkan pot emas. Mengetahui hal tersebut, utusan Raja Tache segera melapor kepada pemerintah Kalinga.

Setelah menerima laporan tersebut, Ratu Jay Shima memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati pada putranya. Namun, beberapa penasihat kerajaan tidak setuju dengan keputusan tersebut dan membela putra mahkota.

Menurut penasehatnya, putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh pot emas dengan kakinya. Mereka berpendapat bahwa hukuman yang lebih adil adalah memotong kaki sang pangeran daripada menjatuhkan hukuman mati, karena unsur kesengajaan telah hilang.

Setelah banyak perdebatan, Ratu Jay Shima akhirnya menerima argumen para penasihatnya. Putra mahkota hanya dihukum dengan memotong bagian jari kaki yang menyentuh pot emas.

Seorang utusan dari Raja Tache kembali ke Tiongkok dan melaporkan kepada rajanya tentang keberanian dan keadilan Ratu Jay Shima yang rela menghukum anaknya sendiri demi menegakkan hukum. Mereka juga melaporkan kejujuran luar biasa yang dimiliki masyarakat Kalinga.

Ratu Kalinga juga menjaga keseimbangan dinamis antara agama dan politik. Agama merupakan hal terpenting dalam menjaga moralitas suatu masyarakat.

Ada dua agama yang dianut sebagian besar masyarakat, yakni Hindu Siwa dan Budha. Keharmonisan kedua agama pada masa Ratu Jay Shima membuat sang ratu dikenal dengan nama Di Yang yang artinya tempat bertemunya agama Hindu dan Budha.

Hal ini pula yang membuat masyarakat begitu menghormati Ratu. Mengutip buku Wanita Garang Penguasa Tanah Jawa yang ditulis oleh Krishna Bayu Aji dan Sri Vintala Ahmad, Ratu memerintahkan pembangunan ratusan candi di kawasan Ada Hyang yang kini disebut Dieng, Jawa Tengah. Sekitar 400 candi konon telah dibangun dan dibangun di kawasan tersebut, yang merupakan bekas pusat pemerintahan suaminya Karthikeyasinha.

Ada anggapan kuat bahwa pembangunan candi ini dilakukan pada abad ke-7 hingga ke-8. Pembangunan ratusan candi Hindu di kawasan Ada Hyang menegaskan fakta bahwa Ratu Jay Shima beragama Hindu Siwa. Pada masa pemerintahan Ratu Shima, agama Hindu lebih berkembang dibandingkan agama Budha yang dikembangkan oleh Raja Sailendra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *