Menguak Isi Ramalan Prabu Siliwangi Tentang Kemunculan Kaum yang Merasa Diri Paling Benar

Prabu Siliwangi adalah Raja Agung, pemimpin kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu. Shiliwangi memerintah dari tahun 1482 hingga 1521 M. Siliwangi juga dikenal sebagai raja yang gemar meramal masa depan.

Shiliwangi atau dikenal dengan Prabu Suryakanchana membuat berbagai ramalan tentang masa depan. Seperti munculnya orang-orang yang menganggap dirinya paling berbudi luhur di masa depan.

Nubuatan, naskah bab “Ronggeng Tujuh Kalasirna” karya Pantun Bogo, cuplikan dari buku Tafsir Wangsit Siliwangi Dan Kebangkitan Nusantara karya E. Rokajat Asura, Penerbit Imania, 2016.

Baca selengkapnya:

Berikut isi prediksinya:

“Ravayana Aranya akan memiliki hawa nafsu yang sedemikian rupa sehingga penduduk dunia ini akan menyembah satu Tuhan dengan satu nama dalam bahasa satu bangsa. Namun pemujaan ini sebenarnya adalah pemujaan terhadap nama bahasa yang sama dari seluruh masa lalu, pemujaannya masih sama. , hanya namanya yang berbeda karena bahasanya berbeda.

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya:

“Keturunan mereka akan membawa keinginan agar semua yang disebut manusia di dunia ini menyembah satu tuhan dalam bahasa satu bangsa. Padahal, pemujaan itu sebenarnya adalah tuhan semua manusia masa lalu dalam bahasa mereka sendiri. sama, tetapi karena negara-negara mempunyai bahasa yang berbeda, maka ada cara yang berbeda untuk mengucapkannya.

Baca selengkapnya:

Berdasarkan naskah yang dikutip dari NU Online, Prabu Siliwangi diyakini meramalkan suatu masa akan muncul sekelompok orang yang akan ‘menyajikan’ perintah Tuhan, menghakimi dan mengutuk yang salah dan benar, sambil mengklaim bahwa kelompoknyalah yang benar. Tim akan pergi ke surga.

Bisa ditebak, apakah nusantara sudah sampai pada tahap ini pertanda kita sudah memasuki masa kritis dan akan muncul Queen Fair? Dari dapur sampai ke pelosok negeri, kekacauan, kegaduhan, ‘kehilangan kecerdasan’, orang bodoh jadi gila, munculnya Budak Bunchireng.

Tokoh yang memerankan kebingungan tersebut rupanya adalah seorang pria bernama Budak Bunsireung. Dalam Kamus Umum Sudan, kata “Bunsirung” berarti perut gendut dan bengkak karena makan berlebihan. Gambar ini menunjukkan monyet merah bersembunyi di pohon beringin.

Jika monyet menggambarkan sosok yang rakus, apakah warna merah melambangkan ras atau kemarahan? Kita bisa menyelidiki Bocah Buncireung yang bersembunyi di pohon beringin.

Tentu saja bukan untuk menyelamatkan monyet merah, tapi untuk menyusup ke sumber listrik. Terkait foto bocah Buncireung, Tim Pembahasan Sundan Kandaga (SKKS) menduga ia menyusup ke pemerintah.

Anggapan tersebut mungkin benar, sehingga konflik horizontal mudah berkobar. Anak-anak Buncireung menjalankan tugasnya sebagai provokator, memecah belah persatuan, menantang keberagaman dan saling menusuk sesama anak negeri.

Lanjutan tulisan Wangsit Siliwangi yang berasal dari Jagatsatu 6 dengan jelas menggambarkan anggapan di atas dengan pernyataan sebagai berikut: “Gerakan tersebut kemudian berubah menjadi perkelahian yang dipicu oleh kera merah yang meniru kera hitam, berlidah hitam, bermata hitam tetapi berhati. dan surat wasiat merah.” tetap ada.

Keinginan ini membuat marah dunia.” Situasi yang bergejolak ini berubah menjadi kekacauan. Puja yang berbeda, sekte yang berbeda, sekte yang berbeda dapat menyebabkan perkelahian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *