Meretas Hambatan Budaya: Memahami Dimensi Komunikasi Lintas Budaya dan Strategi Mengatasinya

KEBUDAYAAN merupakan suatu cara hidup yang berkembang dalam suatu kelompok atau masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan suatu cara hidup yang tercipta sejak lahir, sejak lahir hingga meninggal.

Indonesia sebagai negara multikultural mempunyai banyak perbedaan. Tak hanya suku, banyaknya provinsi yang terbagi menjadi 34 juga memungkinkan kita untuk saling bersinergi antar budaya.

Komunikasi antarbudaya adalah proses berbagi informasi, ide dan makna antara orang atau kelompok dari budaya yang berbeda. Tujuannya adalah untuk memahami dan mengapresiasi perbedaan nilai, tradisi dan kebiasaan komunikasi yang ada pada masing-masing budaya.

Komunikasi antarbudaya menjadi penting di era globalisasi, dimana komunikasi antarbudaya sering terjadi di tempat kerja, bisnis internasional, pendidikan dan pariwisata.

Berkaitan dengan hal tersebut menarik kita mengetahui Teori Komunikasi Antarbudaya yang dikemukakan oleh William B. Gudykunst yang dikenal dengan nama *Anxiety Theory/Uncertainty Management (AUM)* dimana teori ini merupakan sebuah metode yang berfokus pada bagaimana orang-orang berkomunikasi secara efektif dalam budaya yang berbeda. keadaan. , terutama ketika ada kecemasan dan ketidakpastian. Inilah teori komunikasi Gudykunst berdasarkan konteks komunikasi budaya:

1. Kecemasan (Kecemasan)

Adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran tentang bagaimana berperilaku atau dianggap oleh orang lain dalam konteks budaya.

2. Ketidakpastian (Uncertainty)

Mengacu pada kurangnya pengetahuan orang lain, terutama tentang keyakinan, sikap dan perilakunya ketika berinteraksi dengan budaya yang berbeda.

Teori ini menyatakan bahwa orang harus belajar mengelola kecemasan dan ketidakpastian untuk mencapai komunikasi yang efektif dalam interaksi lintas budaya. Gudykunst menyarankan bahwa ada tingkat kecemasan dan ketidakpastian yang *sesuai* yang harus dikelola orang:

– Jika kecemasan atau ketidakpastian terlalu tinggi, orang tersebut mungkin ragu atau menjadi defensif dalam berkomunikasi.

– Jika terlalu rendah, masyarakat mungkin tidak cukup peduli terhadap perbedaan budaya yang ada dan membuat asumsi yang salah.

Oleh karena itu, setiap individu harus mencapai keseimbangan yang tepat agar berhasil menavigasi komunikasi antarbudaya. Perspektif Gudykunst tentang komunikasi antarbudaya menekankan pentingnya mengelola kecemasan dan ketidakpastian dalam interaksi antarbudaya. Ketika masyarakat mengelola kedua hal tersebut dengan baik, maka komunikasi bisa menjadi lebih mudah, terhindar dari kesalahpahaman dan terciptanya hubungan antar budaya yang lebih baik.

Pengarang:

Sakal Tua Muda Nababan

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Veteran Jakarta (UPNVJ)

Disclaimer : Artikel ini merupakan pendapat penulis dan tidak mewakili posisi Tim Redaksi newfictionwriters.comĀ 

(kanan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *