Pangkalan Militer AS di Filipina Dinilai Dapat Mengancam Kedaulatan Negara Kawasan

JAKARTA – Profesor Universitas Filipina Roland G. Simbulan mengajar pangkalan militer di Filipina. Pasalnya, belakangan ini menjadi isu terkait situasi di Asia Tenggara akibat perkembangan situasi di Laut Cina Selatan (SCC).

Prof Roland G. Simbulan menyampaikan hal tersebut dalam konferensi media yang digelar di Quezon City, Rabu (17/7/2024) saat peluncuran ‘Foundations of our Insecurity’ edisi ketiga.

Menurut Simbulan, kerangka Perjanjian Pertahanan Bersama (MDT) dan Peningkatan Kerja Sama Pertahanan (EDCA) antara AS dan Filipina dapat melemahkan otoritarianisme negara tersebut.

Hal ini menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini menjadikan Filipina sebagai garda depan Amerika Serikat dalam menghadapi Tiongkok. EDCA baru, yang sebagian besar berbasis di Taiwan, akan menyeret Filipina ke dalam ketegangan AS-Tiongkok.

Pada peluncuran buku tersebut, tokoh-tokoh penting seperti pengamat Unity dan advokat LSM WomanHealth Princess Nemenzo dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian Corazon Valdez-Fabros, wakil presiden Pusat Perdamaian Internasional yang berbasis di Berlin, menyuarakan keprihatinan Simbulan.

Mereka meminta pemerintah Filipina meninjau kembali hubungannya dengan pasukan asing. Alasan utamanya adalah pengalaman sejarah menunjukkan bahwa aliansi semacam itu meningkatkan kemungkinan Filipina terseret ke dalam konflik.

Dalam pidatonya, Simbulan menekankan bahwa pangkalan militer asing di Filipina merupakan bahaya serius, termasuk keterlibatan dalam mendorong konflik antar negara adidaya seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia.

“Pembentukan EDCA mengancam kedaulatan nasional Filipina dan menjadikannya sasaran serangan dalam persaingan geopolitik,” ujarnya.

Simbulan juga mengutip keluhan baru-baru ini dari Presiden Rusia Putin dan peringatan publik bahwa kehadiran rudal balistik antarbenua AS di Filipina memerlukan tanggapan. Ini merupakan ancaman besar bagi keamanan negara.

Ia juga mengatakan kepada seorang pejabat Vietnam yang berbicara di Universitas Filipina bahwa selama Perang Vietnam, Amerika Serikat menggunakan pangkalan militernya di Filipina untuk secara rutin mengebom Vietnam dan negara-negara lain di Indo-Tiongkok.

“Jika Vietnam memiliki kekuatan militer yang cukup, mereka dapat menyerang pangkalan di Filipina atau menargetkan (Filipina),” kata Simbulan.

Menanggapi hal tersebut, Rasminto, pakar geografi politik Universitas Islam 45 (Unisma), mengatakan, di kawasan pangkalan militer di Filipina, banyak kelompok yang menilai kehadiran pasukan asing, khususnya Amerika Serikat, ilegal. dari negara yang berdaulat.

“Bagaimanapun, kedaulatan negara merupakan prinsip dasar yang menegaskan bahwa suatu negara mempunyai kendali penuh atas wilayah dan urusannya tanpa campur tangan pihak luar,” kata Rasminto dalam keterangannya, Jumat (12/7).

Ia mengatakan, sejarah hubungan Filipina dengan AS sejak masa kolonial hingga kemerdekaan menambah kepekaan terhadap isu ini. Juga, ada Perjanjian Keamanan antara kedua negara

“Hubungan AS dan Filipina sering dibicarakan oleh mahasiswa dan aktivis hak asasi manusia di Filipina karena memberikan banyak pengaruh AS terhadap keamanan Filipina,” jelasnya.

Ia mengatakan isu tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Filipina bahwa kehadiran pangkalan militer asing dapat mengundang lebih banyak konflik dan menjadikan wilayah sekitar pangkalan tersebut sebagai sasaran keadaan perang.

“Ada isu serius bahwa kehadiran pangkalan militer AS telah menciptakan kekacauan di kalangan masyarakat Filipina, dan juga menimbulkan dampak negatif terhadap komunitas lokal, kerusakan lingkungan yang luas, dan masalah lingkungan Filipina. Kejahatan dan prostitusi, yang mana hal tersebut selalu terkait dengan kehadiran pasukan asing,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Human Studies juga berbagi analisisnya mengenai perubahan global di kawasan Asia-Pasifik yang melibatkan kehadiran pangkalan militer di Filipina.

“Wilayah ini telah menjadi tempat persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok. “Amerika telah lama memiliki posisi dominan di kawasan Asia-Pasifik dan mempertahankan kehadiran militernya sebagai bagian dari strateginya untuk melindungi kepentingan dan mempertahankan pengaruhnya,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *