Pelita dari Bawah Kolong Tol Jelambar, Wujudkan Cita di Tengah Keterbatasan

Jakarta – Jalan Kepanduan I, Tol Dalam Kota KM 17.400, Kelurahan Jelambar Baru dekat Kali Grogol, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Rabu, 24 April 2024.

Namun siapa sangka di kolong jalan raya, kolong tol terdapat kawasan pemukiman yang sebagian besar berada di luar kendali pemerintah.

Di tengah hiruk pikuk pembangunan ibu kota, DKI Jakarta menyimpan potret sedih banyaknya warga pendatang yang masih hidup di ambang kemiskinan yang belum tercatat.

Dalam artikel ini, Okezon mengkaji bagaimana imigran “ilegal” dari ibu kota bersekolah di ruang terbatas antara tanah dan bangunan jalan tol, pagar, dan rumah petak yang jongkok. Mereka sangat ingin bersekolah untuk mewujudkan impiannya.

Tidak ada kesedihan di wajah mereka. Anak-anak senang dan berlarian dalam proses pendidikan. Mereka pun mendengarkan cerita dan perkataan gurunya di tengah kebisingan kendaraan yang melaju.

Mereka berhati-hati agar kepala mereka tidak terbentur beton di bawah jalan tol yang tingginya kurang dari satu setengah meter. Selain itu, anak-anak ini tidak lupa mencatat pelajaran yang diajarkan oleh gurunya.

Terdapat sekolah anak di salah satu sisi tengah Jalan Petak Seng Jelamber. Puluhan rumah petak juga telah dibangun di bawah jalan tersebut.

Banyak orang tua pelajar yang mencari nafkah dengan bekerja di kawasan kolong tol yang tertutup dan padat tersebut.

Di kolam koi kolong Jalan Petak Seng Zhelumbar terdapat lampu untuk anak-anak. Mereka mengajarkan kepada anak-anak kurang mampu bahwa mereka dapat mengejar impian mereka meski memiliki keterbatasan.

Menurut Angiyat Simanulang, Kepala Sekolah Pondok Domba di Tol Petakseng Jelambar, ada 68 anak yang belajar di sekolah tersebut dalam kondisi jalan tol.

“Dulu ada 70, sekarang ada 55 anak yang aktif, tapi yang terdaftar 68. Kebanyakan orang tua anak-anak itu pindah untuk bekerja,” kata Angiat kepada MNC Portal di lokasi kolong tol.

Dia mengatakan banyak dari anak-anak yang bersekolah di jalan tol adalah migran yang tidak mampu secara ekonomi dan berada jauh dari sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar formal.

“Di sini TK dimulai dari usia 5 tahun hingga usia SD. TK A, TK B dari kelas 1 hingga kelas 6. Kami mengoperasikan tiga sekolah di kawasan kumuh, pertama di bawah petak seng, kemudian di Gudang Pluit dan Rawa Indah Kapuk. dia berkata. .

Angiat mengungkapkan, sekolah gratis yang didirikannya untuk anak-anak dari kelompok marginal ditendang oleh Plt Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan Pra-Gubernur Anis Baswedan.

“Tadi jalan ini dirusak Ahok. Tiga sekolah dirusak,” kenang Angiyat dengan wajah sedih.

Menurut dia, sebagian besar pelajar tersebut merupakan warga kawasan pintu tol Jhelumbar. “Mereka bersekolah pada bulan pertama-ketiga. Bulan keempat mereka tidak bisa bersekolah, terlalu mahal. Mereka belajar di sini gratis. Kami juga mendidik anak-anak penyandang disabilitas,” ujarnya. .

Menurut dia, kelas SMP akan dimulai pukul 07.30 hingga 10.15 WIB di sekolah yang berada di bawah lokasi seng Zhelumbar. Sedangkan kelas kedua pukul 10.15 WIB hingga 13.00 WIB.

Angiat mengatakan, siswa seringkali membutuhkan alat tulis saat memasuki tahun ajaran baru.

Ellen (50), seorang penyewa yang tinggal di Jalan Tol Petak Seng, mengatakan, anaknya sudah setahun terakhir belajar di jalan tol.

“Saya merasa sekolah ini banyak membantu saya. Anak saya yang TK sudah belajar di sini selama satu tahun, dan pertumbuhannya sangat baik,” kata Ellen.

Meskipun kondisi keuangannya terbatas, Ellen berjuang untuk memberikan nutrisi dan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya.

“Saya mau sewa di sini tahun 2023. Suami saya kerja serabutan, tapi nasibnya kurang bagus, jadi kami pindah dari rumah kontrakan di jalan tol ini,” kata Ellen.

Menurut Allen, sewa rumah kolong tol berukuran 5×4 meter dan harga sewanya Rp 300.000 per bulan.

Suami Ellen adalah seorang buruh harian lepas yang terkadang bekerja ketika dia dipanggil untuk suatu proyek, namun menjadi pengangguran padahal sebenarnya tidak.

Sementara itu, warga lainnya bernama Samsang (47) mengatakan, ratusan keluarga tersebut berada di kolong tol dekat kawasan Jhalambara dan Penjaringan.

“Ada yang menyewa. Harganya 300.000 rubel per bulan. 50.000 rubel untuk listrik. Karena itu, listrik disalurkan ke tempat lain,” kata seorang pria yang mencari nafkah dengan melakukan perbaikan dan pembersihan. AC.

Dia mengatakan, alasan tinggal di kolong tol karena warga tidak mempunyai cukup uang untuk menyewa atau harga apartemen yang mahal.

“Di sini kami mendapat bantuan dari para dermawan saat Natal dan Idul Fitri. Nah, bantuan dari pemerintah tidak ada,” aku Samsung.

Menurut Samsung, usai Idul Fitri, banyak pendatang yang datang untuk menyewa tanah kolong tol tersebut.

“Ya, hidup di Jakarta memang sangat sulit, sehingga jika tidak mempunyai rumah untuk ditinggali, terpaksa harus tinggal di lingkungan yang padat, miskin, atau sejenisnya di daerah kumuh yang harga sewanya murah. Tapi kami tetap bersyukur. dan kami berusaha mencari takdir kami sendiri untuk hidup demi anak-anak. Kami akan melakukannya,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *