Penurunan Kinerja KPK Disebabkan karena Tak Mampu Pertahankan Kepercayaan Publik

 

SETELAH tahun 2024, masa jabatan pimpinan KPK telah berakhir, dan berdasarkan UU KPK, pemerintah wajib membentuk Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK.

Pemilihan 5 pimpinan KPK dari 10 calon dilakukan oleh Presiden sebagai kepala negara sesuai draf awal RUU KPK tahun 2000, namun Komisi II (sekarang Komisi III) menolak draf ketentuan tersebut dengan alasan kelima pimpinan KPK merupakan pejabat negara yang setingkat dengan lembaga tinggi negara; Usulan penolakan Komisi II juga terkait dengan status hukum asli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mempunyai monopoli penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, namun tidak disetujui DPR.

Sementara itu, tujuan rancangan awal RUU KPK adalah agar KPK dapat menjalankan tugasnya secara independen dan memimpin pemberantasan korupsi, yang pada saat itu kerap menimbulkan hambatan serius bagi jaksa baik eksekutif maupun legislatif. cabang kekuasaan dan kekuasaan lainnya.

Harapan dan tujuan awal RUU Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2000 gagal sehingga hasil kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Jilid I sampai Jilid VI menemui kendala yang berat dan tidak efektif baik dalam pemulihan kerugian keuangan negara akibat korupsi maupun yang diharapkan. efek pencegahan. ; Kerugian keuangan negara akibat korupsi sejak terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi hingga periode ketiga kepemimpinan KPK tidak mencapai ½ dari total kerugian keuangan negara yang diperkirakan bocor hingga 35% APBN setiap tahunnya; bahkan tidak bisa dibandingkan dengan pengeluaran negara yang ditarik dari APBN dengan total dana APBN yang tersedia untuk membiayai Komisi Pemberantasan Korupsi secara keseluruhan; Fungsi trigger mekanisme KPK dalam interaksi dengan Kejaksaan dan Kepolisian hingga saat ini stagnan, dan intervensi kekuasaan eksekutif dan legislatif semakin meningkat meski beberapa anggota legislatif dan eksekutif ditetapkan sebagai terpidana. korupsi.

Selain itu, korupsi juga telah merambah pada sistem peradilan, dimana hakim di tingkat Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung ditetapkan sebagai tersangka/terpidana korupsi. Segala kendala peningkatan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK tidak hanya terkait dengan keterbatasan anggaran akibat luasnya cakupan kewenangan KPK saja, namun juga karena permasalahan kepemimpinan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ) yang masih lemah.

Sehingga pengawasan internal dan eksternal (di Kejaksaan dan Kepolisian) terhadap kasus korupsi tidak efektif dan juga terjadi secara internal, seperti kasus pemerasan di Rutan KPK yang ditetapkan tersangka sebanyak 60 orang; Tiga pimpinan KPK pun ditetapkan sebagai tersangka (AS, BW, Firli) dan satu orang diduga melanggar kode etik KPK.

Fakta kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbuka ke publik selama 22 tahun menunjukkan bukti bahwa KPK perlu mengkaji ulang status hukumnya, baik sebagai milik negara. fungsi mekanisme pemicu dan independensinya sebagai lembaga penegak hukum yang terpercaya dalam mengantisipasi Reformasi 1988.

Sekilas perjalanan KPK selama ini mengungkap sejumlah permasalahan. Pertama, harkat dan martabat KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen dalam pemberantasan korupsi merosot seiring dengan merosotnya harkat dan martabat Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan/kontroversi hasil Pemilu 2024.

Kedua, menurunnya kinerja KPK secara signifikan karena ketidakmampuan KPK mempertahankan diri sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat dalam pemberantasan korupsi dan penyebab utamanya adalah upaya “koruptor melakukan perlawanan” terhadap korupsi. KPK khususnya terhadap Firli Si Bahuri yang telah ditetapkan sebagai tersangka, namun hingga saat ini terhenti karena sulitnya memperoleh bukti permulaan yang cukup dalam penyidikan di Polda Metro.

Ketiga, terhadap dua peristiwa hukum tersebut di atas, terbukti adanya pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998 yang bertujuan untuk memberantas korupsi hingga nihil toleransi, hingga tuntas hingga ke akar-akar dan lapisan tertinggi korupsi serta kesadaran. perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh warga negara Indonesia dari pelecehan dan pemaksaan.

Pertanyaan mendasar dalam menghadapi situasi dan permasalahan lemahnya penegakan hukum yang sudah mencapai tahap keempat, untuk membentuk KPK, pemerintah mengingatkan bahwa terus memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan membentuk KPK melalui pemilihan KPK. Namun Pansel juga harus mempertimbangkan secara serius apakah pemerintah dan anggota legislatif di negeri ini serius dan masih serius untuk Indonesia bebas dari KKN? Pertanyaan mendasar ini perlu ditanggapi dengan serius baik oleh pemerintah maupun anggota DPR hasil pemilu jika memang berniat membangun negara tanpa KKN.

Soal tata cara pemilihan dan siapa yang akan dipilih menjadi Panitia Pemilihan KPK dan Lima Pimpinan KPK adalah soal yang berbeda karena jika dasar moralitas dan integritas sebagai negara bebas tetap ingin dihormati oleh negara lain sebagai negara yang tidak ada negaranya. korupsi sehingga diharapkan dapat meningkatkan investasi dan kerja sama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, kemudian periksa dan perbaiki diri khususnya pimpinan nasional, apalagi jika UUD 1945 sudah memerintahkan kesejahteraan bangsa. manusia dalam arti luas.

Penulis : Prof Romli Atmasasmita

 

Ketua Panitia Calpim KPK 2003-2007

 

Ketua Tim RUU KPK Tahun 2002

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *