JAKARTA – Perempuan Malang menciptakan fashion dari limbah kain yang menjadi pekerjaan menarik. Busana ini bahkan sukses dijual ke luar negeri di Malaysia dan Brunei Darussalam.
Kain perca terbuat dari kain katun jepang yang sudah rusak, yang merupakan bahan yang digunakan untuk membuat baju Negeli dan pakaian lain lainnya. Bahkan, perempuan bernama Eva Sophia Hayati ini sudah lama menekuni berbagai busana, mulai dari malaga ahela sederhana, mukena, baju muslim, hingga pernak-pernik kecil seperti sandal, dompet, bahkan tempat tisu.
Menariknya, berbagai jenis sisa kain yang tidak terpakai digunakan dalam pembuatan pernak-pernik kecil ini. Dilaporkan beberapa barang telah dibuat dari limbah kain mulai dari sandal, dompet, tas hingga tempat ponsel.
Eva Sophia Hayati, pemilik Duster Eva Malang, mengaku memulai bisnis sederhana Kemoceng Malang pada tahun 2000-an. Saat itu ia memulai usahanya dengan pinjaman dari bank pemerintah senilai Rp 6 juta, saat ia masih aktif menjadi pengajar di salah satu universitas swasta di Malang.
“Awalnya saya merasa tidak punya uang pensiun, lalu kenapa saya memilih tidak peduli dengan pernak-pernik karena stabil dibandingkan bisnis lain, jika fashion ditelan uang, misalnya manajer yang Anda punya. untuk berubah lagi.” Eva Sophia Hayati mengaku ditemui tokonya di Jalan Borobudur Agung Barat III No. 1 Kelurahan Mojolangu, Lokwaru, Kota Malang.
Kualitas yang terus dijaga menjadikannya terus mendapatkan kepercayaan dari para pelanggannya. Semua produk dan produk fashion, diabaikan sayang. Bahkan remaja putri pun mengabaikannya untuk membeli, namun sesuai dengan fashion dan desain.
“Untuk daster yang laris modelnya, kami hanya membuat kimono saja. Jadi segmennya (pelanggannya) berbeda-beda, dari anak kecil, ada yang kecil terlantar, muda, ada yang tua, ada yang muda punya kimono,” tuturnya. .
Lambat laun, produksi kasualnya yang menggunakan bahan berkualitas seperti katun Jepang mulai laris manis. Tak hanya itu, keunikan motif awal yang kurang hati-hati membuat produk ini semakin laris di pasaran.
“Pangsa pasar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali hingga Papua di semua kota besar, di kota-kota besar kita juga banyak dealernya, tapi kita jual dengan sistem rusak. Bagi yang ke luar negeri ke Malaysia dan Brunei Darussalam,” itu berkata. seorang wanita yang berusia 65 tahun tahun ini
Bahkan di masa Covid-19 penjualan kemoceng dan produk fesyen berlabel Duster Eva Malang mengalami peningkatan. Banyak bermunculan pemasar baru yang memperluas sistem pemasarannya. Hasilnya, sebelum akhir bulan, Eva dan 22 karyawan tetapnya mampu memproduksi 4.000 pakaian kasual, gaun, dan item fashion lainnya.
“Selain banyak (produknya), pernak-pernik, mukena, sandal, serbet, kedepannya kami akan membuat sprei dan baju untuk anak kecil. Untuk produk kecil seperti sandal, tas, dompet, bahkan tisu, kami menggunakan bahasa Jepang. limbah kain katun,” terang perempuan tiga orang anak ini.
Menurutnya, limbah kain katun Jepang dari produksi pakaian fashion didaur ulang dan didaur ulang. Jarang ada pola yang memerlukan penjahitan, termasuk pola dekoratif. Seluruh prosedur dilakukan di rumah produksi yang dijadikan showroom di Jalan Borobudur Agung Barat III No. 1, Kelurahan Mojolangu, Kota Malang.
“Sebenarnya limbah kapas Jepang itu didaur ulang, jadi bagusnya dengan cara otomatis. Sampah komersial dikumpulkan lagi, diolah, diolah,yang menjual pakaian,” jelasnya.
Produk tersebut dijual dalam jumlah berbeda. Namun rata-rata, setidaknya terkumpul 2.000 pesanan untuk gaun Daster dan produk fashion lainnya. Masing-masing produk dijual dengan harga berbeda-beda, mulai dari Rp 35 ribu untuk sekotak tisu hingga beberapa ribu rupee.
“Kalau penjualannya tidak bisa dihitung, kebanyakan dari mereka adalah swasta yang membeli. Cuma pesanannya saja sering mencapai 2 ribu. Mereka tahu dari mulut ke mulut kalau masyarakat mengabaikan EVA, akhirnya disebut EVA dusters.” Dia menjelaskan.
Untuk menghasilkan produk cantik tersebut, Eva harus mempekerjakan 22 pekerja di tokonya. Sementara itu, 100 orang sisanya bekerja berdasarkan kontrak, sebagian besar adalah ibu-ibu.
“Alhamdulillah di sini kita bisa menyerap pekerjaan, (untuk produksi) di sini kita hanya potong, tempel, kontrol, setrika kadang di luar, jahit kita bawa pulang ke semua orang,” ujarnya.