UU ITE: Pasal-Pasal dan Mereka yang Terjerat

JAKARTA – Banyak hal di masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang. Salah satunya adalah teknologi informasi.

Teknologi informasi atau teknologi informasi adalah istilah umum untuk semua teknologi yang memungkinkan manusia membuat, mengubah, menyimpan, mengkomunikasikan dan/atau menyebarkan informasi.

Pada umumnya individu yang hidup dalam masyarakat sangat bergantung pada teknologi informasi dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya, banyak orang tidak dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa ponsel. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi informasi sudah menjadi hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia.

Semakin besar dampak teknologi informasi terhadap kehidupan manusia, maka semakin besar pula risiko penyalahgunaannya. Kenyataannya, banyak hal buruk yang bisa terjadi di bidang IT.  Oleh karena itu, pemerintah berpendapat bahwa teknologi informasi tidak hanya harus menjadi fokus tetapi juga harus diatur dengan undang-undang.

Salah satu perangkat hukum yang saat ini mengatur tentang teknologi informasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).

Pengertian UU ITE

Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik merupakan undang-undang yang mengatur tentang informasi elektronik dan transaksi elektronik.

Informasi elektronik diartikan sebagai salah satu atau kumpulannya, termasuk teks, suara, gambar, gambar, rencana, foto, pertukaran data elektronik (EDI), surat elektronik (email), telegraf, teleks, dan faksimili. Alternatifnya, huruf, simbol, angka, kode akses, kode atau perforasi, dll. dimanipulasi agar memiliki makna atau dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sedangkan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan media elektronik lainnya.

Esai Hukum ITE

Keberadaan UU ITE sangat diperlukan bagi kehidupan manusia, apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin pesat. Namun, terlepas dari semua fungsi dan tujuan UU ITE, masih terdapat kendala pada isinya.

Pasca UU ITE diundangkan, kasus pidana pencemaran nama baik terhadap pengguna internet mulai meningkat secara signifikan di Indonesia.

Permasalahannya, Indonesia memiliki kondisi geografis yang menyulitkan peningkatan akses keadilan bagi tersangka/terdakwa.

Di luar persoalan kondisi geografis, belum banyak pengacara yang memahami persoalan siber, terutama yang memberikan nuansa HAM dalam perkara pidana.

Berdasarkan laporan Lembaga Reformasi Peradilan Pidana, terdapat masalah pada Pasal 27 ayat (3). Sebab, banyak istilah dalam pasal tersebut, seperti pasal 45(1) UU ITE, penyediaan dan penukaran, merupakan istilah teknis yang pada dasarnya tidak sama di dunia TI dan di dunia nyata. Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) Pasal 45 ayat (1) UU ITE memiliki konsekuensi tersendiri karena pengadilan akan menentukan secara berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran dalam praktiknya.

Berdasarkan keterangan Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara, beberapa persoalan dalam UU ITE antara lain pasal 27 hingga 29 UU ITE dan pasal 26, 36, 40 serta ketentuan Bab Kejahatan Dunia Maya. 45. Konstruksi ketentuan UU ITE bersifat kaku (inspiratif) dan tidak tepat serta menyangkut persoalan penafsiran hukum (multiple interpretasi) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Selain itu, kurangnya pemahaman implementasi oleh aparat penegak hukum. Ketika dampak sosial akhir terjadi, pasal-pasal tersebut dapat memberikan dampak negatif seperti balas dendam, barter peristiwa, menjadi alat trauma healing, dan memberikan efek mendinginkan.

Kasus UU ITE

Berdasarkan kasus yang dikutip laman berita Tempo.CO, musisi Tanah Air Ahmad Thani dijerat Pasal 27 Ayat 3. Pasal 45 Ayat 3 UU ITE menerapkan tindak pidana pencemaran nama baik, yaitu terdakwa membuat video berisi kata ‘bodoh’ di luar hotel tempatnya menginap yang dianggap mencemarkan nama baik para pengunjuk rasa.

Dalam kasus ini, terdakwa bisa dinyatakan bersalah jika memenuhi unsur pasal 27 ayat (3) UU ITE. Yang dimaksud dengan pencemaran nama baik di sini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP. Saat membuktikan pencemaran nama baik atau fitnah, konten dan konteks informasi menjadi pertimbangan, dan evaluasi merupakan penilaian subjektif yang hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Artinya, target audiens konten tersebut adalah korban, dan hanya korban yang dapat menilai apakah konten tersebut mengandung unsur penyerangan terhadap reputasinya. Sedangkan isi kontennya dapat dinilai secara obyektif sesuai dengan niat dan motivasi pelaku membuat dan menyebarkannya.

Berdasarkan keterangannya, pihak keamanan RI melaporkan Thani ke Polda Jatim pada 30 Agustus 2018. Kelompok tersebut menilai Dhani telah mencoreng nama baiknya. Atas kejadian tersebut, Ahmad Thani dijerat Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang mengacu pada Pasal 311 KUHP.

Contoh lainnya adalah beredarnya video pidato Basuki Tjahaja Poornama (“BTP”) pada tahun 2016 saat Puni Yani menjabat Gubernur DKI.

Buni Yani didakwa mengedit video BTP yang menggunakan salah satu ayat Surat Al Maidah dalam pidatonya. Pihak Puniyani membantahnya, namun video tersebut disebut-sebut telah diedit dengan maksud berbeda.

Perbuatan Puni Yani dinilai memenuhi unsur pasal 32 ayat (1) dan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Atas perbuatannya, Puni Yani dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung dan divonis satu tahun enam bulan penjara.

Saya harap teman-teman semua bijak dalam membuat konten media dan tidak menyalahgunakannya.

Penulis : Dr (HC) PRABOWO FEBRIYANTO, S.H., M.H

Ahli hukum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *