IJTI : Revisi UU Penyiaran Mengancam Kemerdekaan Pers!

Jakarta – Pemerintah bersama DPR RI berencana mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Rencananya sudah memasuki tahap finalisasi rancangan perubahan undang-undang penyiaran. Rancangan perubahan UU Penyiaran yang muncul dari DPR dibahas di Balag pada 27 Maret 2024. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menaruh perhatian pada rancangan perubahan UU Penyiaran dari segi penulisan. Proses dan substansi.

“Dari proses penyusunannya, IJTI menyayangkan rancangan revisi UU Penyiaran terkesan dibuat asal-asalan dan berpotensi mengancam kebebasan pers, apalagi organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers tidak dilibatkan dalam penyusunannya. tidak terlibat,” kata Ketua Umum IJTI Herrick Kurniawan dalam keterangannya, Sabtu (11/5/2024).

Herrick mengatakan, revisi rancangan undang-undang penyiaran memuat beberapa pasal yang menjadi perhatian khusus IJTI. Pertama, pasal 50B ayat 2 huruf c yang melarang penyebarluasan karya jurnalistik investigasi secara eksklusif.

Baca juga:

“IJTI menilai pasal ini menimbulkan multitafsir dan membingungkan. Pertanyaan terpentingnya adalah mengapa RUU ini melarang televisi untuk secara eksklusif menayangkan karya jurnalisme investigatif? atas informasi, fakta, dan data yang akurat, dirancang secara profesional dan cermat dengan tujuan “Demi kepentingan publik, tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi karya jurnalisme investigatif untuk disiarkan di televisi,” kata Herrick.

Padahal, kata Herrick, pasal larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigatif di televisi bisa dimaknai sebagai upaya untuk mengintervensi dan membungkam kebebasan pers di tanah air.

Upaya ini tentunya merupakan ancaman serius bagi kehidupan pers dan dibarengi dengan rasa tanggung jawab. Tak hanya itu, perubahan RUU Penyiaran dikhawatirkan menjadi alat kekuasaan dan politik beberapa pihak untuk menghilangkan karya jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

Baca juga:

Pasal lain yang perlu mendapat perhatian khusus, tambah Herrick, adalah pasal 50B ayat 2 huruf K, terkait materi siaran dan materi siaran yang memuat berita bohong, fitnah, pencemaran nama baik, dan pencemaran nama baik.

Herrick mengatakan, pasal ini banyak penafsirannya, terutama terkait fitnah dan pencemaran nama baik. IJTI melihat pasal itu banyak tafsirnya dan membingungkan karena mempunyai kekuatan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis/pers sebuah instrumen.”

Lebih lanjut beliau mengatakan: “Kami sepakat bahwa sistem ketatanegaraan menggunakan demokrasi dan pers merupakan pilar keempat demokrasi. Pers mempunyai tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara transparan, akuntabel dan melindungi hak-hak masyarakat. Selesaikan secara tuntas. “

Pasal lain yang menjadi perhatian khusus adalah Pasal 8A huruf Q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan terkait kegiatan jurnalisme televisi dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Herrick mengatakan pasal tersebut patut ditinjau ulang karena bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang mewajibkan penyelesaian sengketa jurnalistik di Dewan Pers.

IJTI juga menilai KPI berpotensi mengganggu kerja jurnalisme profesional dalam menyelesaikan sengketa jurnalisme penyiaran, dan menilai KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR.

“Menurut UU Pers jelas bahwa komunitas jurnalistik berhak menetapkan aturan tersendiri untuk mengatur kehidupan jurnalistik yang sehat, profesional, dan berkualitas melalui self-regulation. Oleh karena itu, setiap perselisihan yang berkaitan dengan karya jurnalistik, baik penyiaran, pers, , Digital (Online) “Langkah ini hanya dapat diselesaikan di Dewan Pers untuk menjamin kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas, dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan secara independen dan tanpa campur tangan pihak manapun,” kata mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *